Kamis – Jumat, 20 - 21 Februari 2014, Pukul 17.00 – 22.00 Wita
Menuju 2014 banyak peristiwa yang terekam di masing-masing ingatan, sebuah peristiwa tentu melahirkan sekian kontroversi, bukan saja kurun waktu sebelum tahun berganti, namun ada sebuah refleksi kesejarahan yang menjadi benang merah dari waktu ke waktu, peristiwa ke peristiwa, dari ingatan ke ingatan dan dari pemikiran ke pemikiran hingga dari generasi ke generasi.
Merekam sejatinya merupakan upaya menyimpan dan menjaga ingatan, melawan ke-lupa-an. Celah tersebut memunculkan makna-makna personal atas sebuah runtutan waktu, realitas dan pembacaan yang subyektif dengan berbagai medium.
Menuju 2014 banyak peristiwa yang terekam di masing-masing ingatan, sebuah peristiwa tentu melahirkan sekian kontroversi, bukan saja kurun waktu sebelum tahun berganti, namun ada sebuah refleksi kesejarahan yang menjadi benang merah dari waktu ke waktu, peristiwa ke peristiwa, dari ingatan ke ingatan dan dari pemikiran ke pemikiran hingga dari generasi ke generasi.
Merekam sejatinya merupakan upaya menyimpan dan menjaga ingatan, melawan ke-lupa-an. Celah tersebut memunculkan makna-makna personal atas sebuah runtutan waktu, realitas dan pembacaan yang subyektif dengan berbagai medium.
Sinema Bentara kali ini menghadirkan film-film yang diharapkan dapat menjadi sebuah retrospektif kecil untukmelihat Indonesia sebagai "rumah" dengan laju demokrasi yang kian dinamis.
Begini Lho, Ed!, sebuah film dengan narasi lugas yang menceritakan peran Bung Karno dalam memediasi penggunaan ruang publik dan keterlibatan seniman secara kolektif, untuk membangun ikon-ikon peradaban yang menggambarkan karakter sebuah bangsa Indonesia dalam perspektifnya.
Potret peristiwa dari rentetan waktu mensinergikan sebuah ingatan yang disebut sejarah, dan masyarakat di dalamnya adalah saksi dari sejarah itu sendiri. Cerita pendek dari sebuah tragedi panjang dalam fiksi Djedjak Darah Surat Teruntuk Adinda dan Marni, mengudak kembali ingatan ingatan kecil yang menjadi besar setelah 32 tahun.
Sang High Noon, tentu saja bukan sherif Gary Cooper dan Grace Kelly dalam film koboi dari Hollywood di tahun 1950 berjudul High Noon, namun Gus Dur dalam High Noon in Jakarta, diceritakan sebagai sosok yang teguh dan berani dalam menghadapi pergolakan politik dan juga dalam mengambil keputusan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Leste yang melibatkan militer Indonesia pada awal reformasi, metafor tersebut tersirat secara singkat dan acak, salah satunya ketika Gus Dur ber-olah raga dan jalan pagi di halaman Istana dengan pengawal dan ajudannya, sembari bernyanyi lirih "I do not know what fate awaits me. I only know I must be brave and I must face the man who hate me, now that I need you by my side", kalimat tersebut salah satu bait dalam lirik lagu dari film High Noon karya Tex Ritter. Dengan mengikuti perjalanan Gus Dur ke Asia dan Eropa, melalui film ini digambarkan bagaimana situasi diplomasi menghadapi opini internasional terkait kasus Timor.
Melengkapi cerita dari Timor (Leste) dengan film Kami Butuh Air, Komandan, memotret kehidupan sosial mereka dengan semangat dan nasionalisme yang ada di benak mereka atas Indonesia sebagai rumah yang lebih baik untuk kehidupan dan masa depan mereka. Elan mereka atas sebuah perjuangan layak dihargai dan diteruskan oleh generasi kita.
Bergeser tentang bagaimana geliat kelompok atau komunitas yang berusaha mendapatkan akses pengetahuan, yang diyakini sebagai bekal dan diceritakan oleh mereka melalui film Omasido Sekola, Kubu Terakhir dan Konjak Julio, melankoli kecil yang menyentuh dari semangat mereka yang besar, untuk sebuah kata maju dan kemajuan.
Realitas-realitas panjang diatas juga dituturkan secara kocak, segar, ringan dengan muatan satire dan kritis lewat (dokumenter berdurasi pendek) Wayang Kampung Sebelah. Sebagai sebuah pertunjukan aslinya sangat digemari, karena penonton memiliki hak untuk menimpali dalam dialog pertunjukan sebagai sebuah proses interaktif. Pemilihan alur, penokohan, syair atau lirik lagu dan dialog yang ada, baik dalam pertunjukan maupun yang di ceritakan melalui film merupakan sebuah gambaran nyata kondisi dan situasi masyarakat di negara ini.
Tujuh pilihan film dokumenter dan dua film fiksi pendek, berusaha menyampaikan representasi sebuah situasi dan kondisi Indonesia sebagai "rumah" oleh masyarakatnya, yang di narasikan secara personal oleh masing-masing pembuat karya.
Kamis, 20 Februari 2014
18.00 – 18.45 Begini Lho, Ed !
19.00 – 20.00 High Noon in Jakarta
20.00 – 20.40 Konjak Julio
Kubu Terakhir
Jumat, 21 Februari 2014
18.00 – 18.35 Kami Butuh Air, Komandan
18.35 – 19.15 Wayang Kampung Sebelah
19.15 – 20.00 Diskusi
20.00 – 20.20 Omasido Sekolah
20.20 - 20.50 Indonesiaku di Tepi Batas